Rabu, 02 November 2011

Cerita Sahabat

CERITA SAHABAT

Cerita ini kutulis pada 18 Agustus 2010 untuk sahabatku yang telah menginspirasiku dengan cerita-ceritanya.

Seorang sahabat, aku memanggilnya Kakak, pernah bercerita padaku tentang masa kecilnya. "Aku lahir dari kaum termarjinalkan, Dik. Bapakku seorang tukang becak, Emakku menjadi buruh tani.  Aku dua bersaudara, aku dan adik laki-lakiku. Kami dalam kondisi yang memprihatinkan. Itulah sebabnya aku tidak ingin kedua anakku mengalami kekurangan ekonomi dan finansial seperti kami dulu." Demikian ia selalu bercerita. Hm kaum termarjinalkan? Bukankah marjin itu artinya pinggir pada sebuah naskah? Apakah dia menjadi golongan yang terpinggirkan? Ataukah sebenarnya masyarakat tidak mengangap seperti itu, tetapi dia sendiri yang merasa terpinggirkan?

Aku suka sekali mendengar dia bercerita. Gaya bicaranya lugas, kadang-kadang terkesan kasar. Bahkan kadang-kadang dia mencela perbuatanku tanpa khawatir aku tersinggung. Orang-orang yang tidak bisa memaklumi dia, akan menganggap dia sombong dan angkuh. "Bisa sampeyan bayangkan, Dik. Ketika aku masuk kuliah, Bapak menjual sawah. Tahu apa omongan masyarakat sekitarku? Mereka bilang bapakku gendeng, anake jange dike'i mangan dadalan, artinya  bapakku gila, nanti anaknya mau diberi  makan batang kacang panjang yang sudah tua! Wis pokok e dienyek pol-pol an, Dik!" Aku tertawa mendengar ceritanya. Kutangkap kegetiran masa lalu disana.  Tapi kutangkap juga keteguhan seorang bapak untuk menyekolahkan anak-anaknya, meskipun dalam kondisi yang serba kekurangan. Seorang bapak berpendidikan rendah yang mempunyai pemikiran jauh ke depan bagi anak-anaknya. Tidak banyak orang tua yang begitu memperdulikan pendidikan anak-anaknya pada masa itu.  Apalagi dalam kondisi ekonomi keluarga yang sulit.

Kini, sahabatku dan adik laki-lakinya itu telah memetik perjuangan dan pengorbanan orang tuanya. Dia dan adiknya telah menjadi sarjana, mempunyai kedudukan yang baik dimasyarakat dan telah mendapatkan apapun yang dia inginkan.  Bapak dan emaknya? Beliau berdua tetap menjadi sosok yang sederhana dan mandiri tidak tergantung pada kedua anaknya. Bapak dan emak sahabatku masih tetap menjadi petani sederhana dan angon sapi. Pernah suatu hari kutanya mengapa kok Bapak dan Emak tidak diajak untuk tinggal di rumah sahabatku. Ternyata, beliau berdua yang tidak mau menjadi beban bagi anak-anaknya.

Suatu hari, dia bercerita ingin sekali membelikan sawah untuk bapaknya sebagai ganti sawah yang dijual dulu. Dia  ingin melihat kedua orang tuanya bahagia. "Aku sakno bapak, Dik, mosok sampe tuwek kok sik soro. Selama ini, aku merasa belum bisa membahagiakan bapak dan emak!" Aku menangis terharu. Orang sekeras dia, ternyata punya keinginan yang begitu besar untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Kakak, semoga engkau tetap menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuamu, yang mampu membahagiakan bapak dan emak. Semoga!! ( Buat sahabatku  Kakak, Bapak dan Emaknya, )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar