Minggu, 06 November 2011

Pelajaran Dari Sebuah Perjalanan


PELAJARAN DARI SEBUAH PERJALANAN
Oleh
Lilis Setiyorini, S.Pd


Pagi itu, aku akan menjenguk ibu mertuaku. Rumah mertuaku  di daerah Gresik utara. Beberapa hari ini, Ibu agak flu, tetapi aku belum sempat kesana karena banyak kegiatan di sekolah. Suamiku yang selama ini menemani ibu. Kebetulan rumah ibu dekat dengan tempat kerja suamiku.

Aku berangkat dari rumah jam 05.30 pagi. Sepeda kutitipkan di parkiran dekat Pasar Benjeng. Biasanya, jika ada acara di Dukun dan suamiku masih disana, aku berangkat dengan sepeda motor, kemudian kutitipkan di parkiran. Selanjutnya aku akan naik angkutan umum ke Gresik. Angkutan pedesaan yang berwarna orange itu memang trayeknya Gresik-Benjeng-Balongpanggang.  Dengan angkutan pedesaan ini, warga Benjeng dan sekitarnya banyak terbantu ketika akan  pergi ke Gresik. Sayangnya seringkali harus menunggu lama sekali sampai penumpamg penuh baru mobilnya berangkat.

Hari itu, entah mengapa,mobil tak juga penuh oleh penumpang. Sudah hampir satu jam aku duduk di dalam mobil angkutan yang masih belum beranjak dari pangkalan. Kebetulan aku adalah penumpang pertama sehingga dapat duduk di depan dekat dengan sopir. Memang sich, ketika naik angkutan umum, aku lebih senang duduk di depan. Menurut aku, dengan duduk di depan, aku leluasa melihat pemandangan di sekitar.

Sambil menunggu, aku  membuka aplikasi mainan dari hp ku.  Supaya tidak merasa jenuh dan menghilangkan bosan. Bukankan menunggu adalah pekerjaan yang membosankan??? Tiba-tiba, aku melihat seorang ibu tua berjalan bungkuk sambil tertunduk. Rambut tuanya tertutup oleh kerudung panjang. Badannya sudah kelihatan agak bungkuk termakan oleh usianya. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena jarak antara  aku dan perempuan tua itu sekitar 50 meter dan posisi ibu itu membelakangi aku . Kulihat ibu tua itu mengorek tong sampah yang ada di depan sebuah conter hp. Hatiku terhenyak. Kuperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan oleh ibu itu. Dia mengorek sampah, menemukan beberapa barang yang menurut dia bermanfaat, memasukkan ke dalam kresek yang dia temukan di    bak sampah itu. Setelah itu dia mengorek tong sampah yang lain yang ada di sebelah utara. Ya Allah,,,, ibu setua itu masih harus bekerja untuk  kelangsungan hidupnya! Alangkah malangnya ibu itu. Terbayang betapa penderitaan ibu itu untuk mencari sesuap nasi. Tanpa terasa air mataku menitik membayangkan  seandainya hal itu terjadi pada ibu mertuaku. Kebetulan aku melihat, postur tubuhnya hampir sama dengan ibu mertuaku. 

Tanpa kusadari, ibu tua itu sudah menjauh ke arah utara. Aku tak tahu kemana ibu tua itu, karena ketika aku tengok, sudah tak kulihat dia. Aku pun mencoba mencari cara agar tidak jenuh. Kuatak-atik kembali hp ku. Jam 06.45,, mobil sudah hampir penuh. Aku telpon suamiku untuk mengabarkan bahwa aku sudah mau berangkat. Tiba-tiba, kulihat ibu yang tadi mengorek-korek tong sampah, berjalan menuju ke arahku. Jalannya  agak bungkuk dengan kepala tertunduk. Kerudung panjang yang dikenakannya, menutupi sebagian wajahnya. Ketika melintas di dekatku, aku terpana. Wajahnya begitu bersih, dan teduh. Ternyata prasangkaku tadi salah. Tak kutemukan sedikitpun gurat-gurat penderitaan. Bahkan kulihat sisa kecantikan dimasa mudanya masih terlihat jelas.

Ada pelajaran berharga yang kudapat dari perjalananku hari ini. Jangan menilai kebahagiaan seseorang hanya dari kulitnya saja. Mungkin ibu tua itu bahagia, karena di sisa usianya, dia tidak perlu merepotkan anak cucunya. Dia masih mampu menghidupi dirinya sendiri, meskipun dengan cara yang sederhana.

Mungkin alasan itu pula yang membuat ibu tidak mau tinggal bersama kami di Benjeng atau dengan kakak di Cerme. Meski aku tahu, wajah ibu begitu berseri  jika cucu dan menantunya datang berkunjung dan menginap di rumahnya. Kebahagiaan ibu jelas terbaca ketika  menciumi cucu-cucunya dan menyambut kehadiran kami semua.

Dalam hati aku berjanji untuk mengajak anak-anak berlibur ke rumah Mbah Buk sesering mungkin.  Mbah Buk,,,, kami datang!! (Pelajaran hidup)

2 komentar:

  1. Suatu kisah hati nurani yang sangat berharga bagi kami, oh bravo for you

    BalasHapus
  2. Makasih suport nya, Pak Wandi. Semoga cerita ibu tua ini bisa bermanfaat

    BalasHapus