Sabtu, 29 Oktober 2011

IBU

IBU, TERIMA KASIH TIADA BERBATAS

Ketika aku bercerita pada ibuku bahwa aku suka menulis catatan di akun facebookku, beliau ingin sekali penggalan kisah hidupnya turut dicatat sambil memperlihatkan buku hariannya. Itulah sebabnya, aku ingin sekali membuat blog.

Masa kecil ibuku dilalui dengan penuh keprihatinan. Nama ibuku Supini. Dia lahir dari seorang petanikecil di desa Gesing Kalipadang. Nama kakekku Ponggo. Aku memanggil kakekku Mbah Nggo. Nama nenekku Marmirah. Tetapi mbah putriku sudah meninggal saat ibuku masih kecil. Ibu adalah anak bungsu dari 8 bersaudara. Dengan jumlah saudara yang banyak, ibu tumbuh menjadi gadis yang mandiri.

Ketika gadis-gadis seusianya sudah berumah tangga, ibu bersemangat sekali melanjutkan sekolah. Sekolah Rakyat  waktu itu berjarak kira-kira 5 km di tempuh dengan jalan kaki. Sendiri, karena anak-anak di kampung itu tidak ada yang mau sekolah. Ada kejadian yang selalu dia ingat. Ketika pulang sekolah melewati galengan -pematang sawah, ada teman ibu yang pekerjaannya angon wedus selalu mengejar dan memukul pecut dari belakang. Ibu yang waktu itu masih berusia 9 tahun,  lari terbirit-birit sampai kadang-kadang terjatuh. Ketika sudah dewasa, ibu menjadi guru kemudian menjadi kepala SD. Pernah suatu kali beliau ketemu dengan temannya itu. Rupanya teman kecil ibuku itu sekarang jualan es lilin dari kampung ke kampung. Sambil bercanda ibuku bilang, "Sampeyan iku cak, aku mbiyen sering sampeyan pecuti sampe mlayu tibo-tibo!" Teman ibuku itu hanya tersenyum malu mengingat kelakuan masa kecilnya yang usil.

Selesai SR, ibuku melanjutkan sekolah SGB (Sekolah Guru Bawah) di Gresik. Bekal yang seadanya, kehidupan yang sangat sederhana di Gresik, tidak membuat semangat belajarnya menurun. Ibu memang anak yang cerdas. Kemauan belajarnya sangat besar. Nilai-nilai ulangan yang didapat ibu sangat baik. Tetapi ada satu mata pelajaran yang tidak ibu kuasai, yaitu menggambar. Nilainya selalu jelek pada mata pelajaran menggambar. Ketika itu ibu menjadi kepala sekolah SDN Munggugianti. Begitu melihat hasil menggambarku yang dikumpulkan oleh guru kelasku, beliau berurai air mata. Bukan karena bangga hasil gambarku bagus, tetapi ternyata aku "setali tiga uang"dengan beliau. Ha ha ha.

Dari keluarga besar, ibu menikah dengan bapakku yang anak tunggal. Tetapi, bukan berarti keprihatinan telah berakhir. Bapak memang anak tunggal. Tetapi beliau telah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Mbah Sa'idah telah meninggal pada saat bapak kelas 2 di SGB. Empat puluh hari kemudian, Mbah Rahman meninggal pula. Jika menceritakan saat-saat itu, air mata bapak masih sering keluar. Cerita tentang awal perkenalan bapak dan ibu, juga sering kami dengar. Dengan kehidupan yang prihatin, selain menjadi guru SD, bapak menjadi makelar sepeda. Waktu itu, mbah Nggo menjual sepedanya. Akhirnya terjadi transaksi jual beli sepeda. Eh ternyata tidak hanya transaksi sepeda, tetapi sekalian kecantol dengan anak gadisnya. Kebetulan ibu adalah adik kelas bapak ketika di SGB. Menikah dengan bapak membuat ibu pindah tempat tinggal dari Gesing ke Munggugianti.

Ada hal-hal yang selalu diajarkan pada kami kelima anaknya. Kesederhanaan, kemandirian dan tetap memegang teguh ajaran agama. Kehidupan kami memang sangat sederhana. Gaji guru pada waktu itu sedikit sekali. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bapak dan ibu berjualan makanan kecil. Dengan kemampuan ekonomi yang minim sekali, ibu dan bapak membiayai sekolah kami semua. Kalau orang-orang menganggap beras jatah PNS apek dan keras, bagi kami itu adalah makanan yang nikmat. Apapun yang dimasak oleh ibu, terasa lezat di lidah kami. Karena kesibukan bapak dan ibu itu, kami menjadi terbiasa mandiri dan saling membantu. Kedua kakak laki-lakiku pun pintar sekali memasak untuk kami adik-adiknya. Kedua kakak laki-lakiku adalah pengayom bagi kami semua. Alhamdulillah, kami semua dapat menyelesaikan kuliah sesuai dengan keinginan kami.

Ada satu yang selalu diceritakan ibu yaitu tentang perasaannya ketika menjelang pensiun. Satu tahun menjelang pensiun, ibu sering diam-diam menangis. Bukan karena memikirkan gajinya yang akan berkurang. Pada saat itu, kehidupan ekonomi keluarga kami memang sudah lumayan. Tinggal adik bungsuku yang masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Surabaya jurusan Bahasa Inggris. Saudara-saudaraku yang lain sudah mandiri.

Setiap pagi, ibu diantar bapak ke SDN Bulurejo. Waktu itu ibu menjadi kepala sekolah di sana. Setiap hari, bahkan belum turun dari sepeda, anak-anak sudah berlarian menyongsong kehadiran ibu. Mereka berebut untuk bersalaman dan mencium tangan ibu. Ibu memang sangat menyayangi anak-anak. Setelah bertahun-tahun bersama anak-anak SD, dia harus meninggalkan rutinitas itu. Terbayang kerinduan ibu pada tangan-tangan mungil yang menanti kehadirannya disekolah.

Sekarang, rumah ibu adalah tempat penitipan cucu-cucunya dan tempat berkumpul kami semua. Sepulang sekolah, perjaka kecilku selalu ke rumah mbah putrinya. Disana sudah menunggu Jiha keponakanku yang masih berusia 2 tahun. Mengerjakan PR dan mengaji dilakukan oleh anakku dengan bimbingan mbah putri. Akupun menjadi lebih tenang meninggalkan anak-anak. Terima kasih untuk ibu dan bapakku, yang telah melahirkan aku dan saudara-saudaraku, yang telah mengajarkan kami tentang kehidupan, yang telah melimpahkan kasih sayang pada kami berlima. (Untuk orang tuaku Supini dan Sampuri, saudara-saudaraku Edy Purwanto,S.Pd, MPd, Dwi Wahyudi, SPd, Wulan Hikhmawati ST, Fajar Handayani SPd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar